Pembelajaran Daring menjadi Pemicu Stress Siswa, Benarkah?

 Pembelajaran Daring menjadi Pemicu Stress Siswa, Benarkah?

Oleh: Nurul Lailatis Sa'adah,  S. Pd


Sejak virus corona menyerang seluruh penjuru dunia termasuk di Indonesia sendiri, banyak regulasi kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah untuk beradaptasi dan bertahan di tengah wabah pandemi. Semua sektor terkena dampaknya tak terkecuali, pun demikian di bidang pendidikan. Menyelamatkan sektor pendidikan sama pentingnya dengan menyelamatkan ekonomi. Jika kekuatan ekonomi akan menyelamatkan negara dari krisis moneter, makan kekuatan pendidikan akan menyelamatkan negara dari kemunduran peradaban. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya investasi pendidikan yang kita bangun selama puluhan tahun tiba-tiba terdapat gap penurunan kualitas pendidikan akibat pandemi covid-19. Alhasil langkah pemerintah untuk menyelenggarakan pembelajaran daring bagi siswa menjadi opsi terbaik saat ini.


Namun apa permasalahannya cukup berhenti di ranah tersebut? Sayangnya tidak demikian. Pembelajaran daring rupanya juga menimbulkan PR baru. Ketimpangan sosial , tidak meratanya akses pendidikan, konflik psikologis baik dari sisi siswa maupun tenaga pendidik menjadi celah minus yang harus segera diperbaiki.


Pembelajaran daring pun sebenarnya memiliki nilai plus, diantaranya lebih fleksibel karena bisa di akses di rumah masing-masing, murah biaya karena tidak perlu ada transportasi untuk akses pendidikan, hemat waktu, transfer ilmu yang lebih mudah. Namun pada kenyataannya banyak siswa yang mengaku stres dengan proses pembelajaran daring selama ini. Mereka hanya dikasih banyak tugas-tugas mandiri, sedangkan bekal ilmu yang diserap selama pembelajaran daring tidak optimal dikarenakan tidak ada interaksi secara langsung. Stres yang dialami siswa berdampak pada menurunnya daya imunitas mereka, akibatnya banyak yang jatuh sakit.


Survei yang dilakukan oleh KPAI tentang pembelajaran daring yang dilakukan di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota menyebutkan 73,22 % dari 1.700 responden mengatakan terbebani dengan tugas para guru, yang seringkali juga meminta mengumpulkan tugas dalam waktu singkat. Sejalan dengan hasil survey KPAI tersebut, hasil jejak pendapat U-report PEKA (Peduli Kesehatan Mental) volume 1 antara UNICEF Indonesia dan CIMSA Indonesia yang dilakukan di 32 provinsi dan melibatkan 638 responden, mengatakan 38% anak usia 15-19 tahun tertekan oleh orangtua, 14% tertekan oleh guru, 13% tertekan oleh teman, dan 5% tertekan oleh saudara.


Sebenarnya ada 'prinsip' dalam pembelajaran yang tidak bisa tersampaikan dengan baik melalui layar monitor. Meski transfer ilmu tetap bisa dilakukakan, rupanya siswa kehilangan 'makna' dari belajar itu sendiri. Apalagi mereka harus duduk berjam-jam di depan laptop/ponsen untuk mengikuti pembelajaran daring.


Mendikbud Nadiem Makarim merilis kebijakan soal proses belajar daring selama pandemi bahwa guru tidak boleh mengejar kurikulum sehingga membebani siswa. Jadi bisa dikatakan kurikulum pun harus ikut adaptif selama pandemi ini. Para guru, siswa, serta orangtua memiliki andil yang sama besar satu sama lain untuk mewujudkan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan. Jika semua pihak bisa bersinergi untuk menyelesaikan masalah ini, maka apa yang dikatakan "merdeka belajar" dan "guru belajar" bisa terealisasikan.


Karena sejatinya pembelajaran yang berkualitas itu bukan diukur dari banyaknya nilai yang diperoleh atau banyaknya tugas yang dikumpulkan, melainkan bagaimana menikmati proses belajar dengan bahagia dan bermakna sehingga siswa dan guru bisa saling berkolaborasi untuk mewujudkan pembelajaran aktif, partisipasif, dan dinamis.

Nah semoga bermanfaat ya..  Sampai jumpa di artikel selanjutnya.... 



Sumber gambar : https://www.amp.dw.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar